Kamis, 01 November 2012

Dasar-dasar Teknis Jurnalistik



Dasar-dasar Teknis Jurnalistik
Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan komunikasi untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Boleh dikatakan, tiada hari dalam hidup kita yang terlewat tanpa komunikasi. Dalam berkomunikasi, terjadi penyaluran informasi dari satu pihak kepada pihak lain melalui sarana tertentu. Sarana ini tentu saja beragam bentuknya; mulai dari yang paling sederhana seperti bahasa tubuh, sampai yang paling canggih seperti internet. Salah satu sarana komunikasi yang sudah akrab dengan kehidupan kita adalah media massa, baik media cetak maupun elektronik. Yang jadi pertanyaan, apa perbedaan media massa dengan sarana komunikasi lainnya?

Secara umum, media massa menyampaikan informasi yang ditujukan kepada masyarakat luas (coba bandingkan dengan telepon yang hanya ditujukan kepada orang tertentu). Karena ditujukan kepada masyarakat luas, maka informasi yang disampaikan haruslah informasi yang menyangkut kepentingan masyarakat luas, atau yang menarik perhatian mereka.

Agar informasi dapat sampai ke sasaran (khalayak masyarakat) sesuai yang diharapkan, maka media massa harus mengolah informasi ini melalui proses kerja jurnalistik. Dan informasi yang diolah oleh media massa melalui proses kerja jurnalistik ini merupakan apa yang selama ini kita kenal sebagai berita. Secara umum, kita dapat menyebutkan bahwa media massa merupakan sarana untuk mengolah peristiwa menjadi berita melalui proses kerja jurnalistik.

Dengan demikian, jelaslah bahwa peristiwa memiliki perbedaan yang sangat konseptual dengan berita. Peristiwa merupakan kejadian faktual yang sangat objektif, sementara berita merupakan peristiwa yang telah diolah melalui bahasa-bahasa tertentu, dan disampaikan oleh pihak tertentu kepada pihak-pihak lain yang memerlukan atau siap untuk menerimanya.

Adanya proses penyampaian oleh pihak-pihak tertentu dan melalui bahasa-bahasa tertentu ini, menyebabkan suatu berita tidak pernah seratus persen objektif. Ia akan sangat dipengaruhi oleh subjektivitas si penyampai berita, mulai dari subjektivitas yang paling sederhana seperti perbedaan persepsi, sampai subjektivitas yang amat konseptual seperti warna ideologi. Contoh sederhana: pers Barat menyebut pejuang Palestina sebagia pemberotak, harian Republika menyebut posisi Amerika Serikat di Irak sebagai penjajah, dan sebagainya. Dengan kata lain, suatu peristiwa akan mengalami "deviasi" ketika diubah menjadi berita.

Berita, dengan demikian, merupakan sesuatu yang cukup rumit jika ditinjau dari segi teori. Demikian rumitnya, sehingga belum ada seorang ahli pun yang hingga saat ini berhasil menyusun definisi yang memuaskan mengenai berita. "Pekerjaan" paling memuaskan yang pernah mereka lakukan adalah merumuskan apa yang disebut sebagai nilai berita, yaitu kriteria-kriteria tertentu yang menentukan apakah suatu peristiwa layak disebut sebagai berita atau tidak.

Kriteria-kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Magnitude, yaitu seberapa luas pengaruh suatu peristiwa bagi khalayak. Contoh: Berita tentang kenaikan harga BBM lebih luas pengaruhnya terhadap SELURUH masyarakat Indonesia ketimbang berita tentang gempa bumi di Jawa Tengah.
  2. Significance, yaitu seberapa penting arti suatu peristiwa bagi khalayak. Contoh: Berita tentang wabah SARS lebih penting bagi khalayak ramai ketimbang berita tentang kenaikan harga BBM.
  3. Actuality, yaitu tingkat aktualitas suatu peristiwa. Berita tentang kampanye calon presiden sangat menarik jika dibaca pada tanggal 1 hingga 30 Juni 2004. Setelah itu, berita seperti ini akan menjadi sangat basi.
  4. Proximity, yaitu kedekatan peristiwa terhadap khalayak. Contoh: Bagi warga Jawa Barat, berita tentang gempa bumi di Bandung lebih menarik ketimbang berita tentang gempa bumi di Surabaya.
  5. Prominence, yaitu akrabnya peristiwa dengan khalayak. Contoh: Berita-berita tentang AFI (Akademi Fantasi Indosiar) lebih akrab bagi kalangan remaja Indonesia ketimbang berita-berita tentang Piala Thomas.
  6. Human Interest, yaitu kemampuan suatu peristiwa untuk menyentuh perasaan kemanusiaan khalayak. Contoh: Berita tentang Nirmala, TKI Indonesia yang dianiaya di Malaysia, diminati oleh khalayak ramai, karena berita ini mengandung nilai human interest yang sangat tinggi.
Perlu diingat bahwa suatu berita tidak harus memenuhi semua kriteria di atas. Namun semakin banyak unsur tersebut yang melekat dalam suatu peristiwa, maka nilai beritanya semakin tinggi.

Proses Kerja Jurnalistik
Di depan telah disebutkan bahwa media massa mengolah informasi melalui proses kerja jurnalistik. Dan ini berlaku untuk semua organisasi yang bergerak di bidang penerbitan pers, tanpa terkecuali. Tahapan-tahapan proses kerja jurnalistik yang berlaku dalam media cetak adalah sebagai berikut:
  1. Rapat Redaksi, yaitu rapat untuk menentukan tema-tema yang akan ditulis dalam penerbitan edisi mendatang. Dalam rapat ini dibahas juga mengenai pembagian tugas reportase.
  2. Reportase. Setelah rapat redaksi selesai, para wartawan yang telah ditunjuk harus "turun ke lapangan" untuk mencari data sebanyak mungkin yang berhubungan dengan tema tulisan yang telah ditetapkan. Pihak yang menjadi objek reportase disebut nara sumber. Nara sumber ini bisa berupa manusia, makhluk hidup selain manusia, alam, ataupun benda-benda mati. Jika nara sumbernya manusia, maka reportase tersebut bernama wawancara.
  3. Penulisan Berita. Setelah melakukan reportase, wartawan media cetak akan melakukan proses jurnalistik berikutnya, yaitu menulis berita. Di sini, wartawan dituntut untuk mematuhi asas 5 W + 1 H yang bertujuan untuk memenuhi kelengkapan berita. Asas ini terdiri dari WHAT (apa yang terjadi), WHO (siapa yang terlibat dalam kejadian tersebut), WHY (mengapa terjadi), WHEN (kapan terjadinya), WHERE (di mana terjadinya), dan HOW (bagaimana cara terjadinya.
  4. Editing, yaitu proses penyuntingan naskah yang bertujuan untuk menyempurnakan penulisan naskah. Penyempurnaan ini dapat menyangkut ejaan, gaya bahasa, kelengkapan data, efektivitas kalimat, dan sebagainya.
  5. Setting dan Layout. Setting merupakan proses pengetikan naskah yang menyangkut pemilihan jenis dan ukuran huruf. Sedangkan layout merupakan penanganan tata letak dan penampilan fisik penerbitan secara umum. Setting dan layout merupakan tahap akhir dari proses kerja jurnalistik. Setelah proses ini selesai, naskah dibawa ke percetakan untuk dicetak sesuai oplah yang ditetapkan.
Teknik Penulisan Berita
Setelah melakukan wawancara, wartawan media cetak akan melakukan proses jurnalistik berikutnya, yaitu menulis berita. Ada dua jenis penulisan berita yang dikenal secara umum, yaitu penulisan straight news dan feature news.

STRAIGHT NEWS merupakan teknik penulisan berita yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Menggunakan gaya bahasa to the point alias lugas.
  2. Inti berita, yaitu masalah terpenting dalam berita tersebut, tertulis pada alinea pertama. Makin ke bawah, isi berita makin tidak penting. Dengan demikian, dengan membaca alinea pertama saja, atau cuma membaca judulnya, orang akan langsung tahu apa isi berita tersebut.
  3. Jenis tulisan ini cenderung mentaati asas 5 W + 1 H.
  4. Gaya penulisan ini biasanya digunakan oleh surat kabar yang terbit harian. Terbatasnya waktu orang-orang membaca koran, membuat para pengelola surat kabar harus menyusun gaya bahasa yang selugas mungkin, sehingga pembaca akan langsung tahu apa isi suatu berita hanya dengan membaca sekilas.

Sedangkan jenis tulisan FEATURE NEWS memilik ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Gaya penulisannya merupakan gabungan antara bahasa artikel dengan bahasa sastra, sehingga cenderung enak dibaca.
  2. Inti berita tersebar di seluruh bagian tulisan. Karena itu, untuk mengetahui isi tulisan, kita harus membaca dari kalimat pertama sampai kalimat terakhir.
  3. Asas 5 W + 1 H masih digunakan, tetapi tidak terlalu penting.
  4. Gaya penulisan ini biasanya dipakai oleh majalah/tabloid yang terbit secara berkala. Pembaca biasanya memiliki waktu yang lebih luang untuk membaca majalah/tabloid, sehingga gaya bahasa untuk media ini dapat dibuat lebih "nyastra" dan "bergaya", sehingga pembaca merasa betah dan "menikmati" tulisan tersebut dari awal sampai akhir.
Prinsip Dasar Tugas Jurnalistik
Untuk menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas, seorang wartawan hendaknya mematuhi prinsip-prinsip dasar yang berlaku dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistik. Beberapa di antaranya adalah:
  1. Wartawan harus menulis berdasarkan prinsip both sides writing. Artinya, dalam membahas suatu masalah, mereka harus menampilkan pendapat dari pihak yang pro dan yang kontra. Ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan opini.
  2. Dalam melakukan wawancara, wartawan harus menghargai sepenuhnya hak-hak nara sumber. Wartawan tidak boleh memuat hasil wawancara yang oleh nara sumber dinyatakan of the record. Bagi nara sumber yang merupakan saksi mata sebuah kejahatan atau menjadi korban perkosaan misalnya, wartawan wajib merahasiakan identitas mereka. Ini bertujuan untuk menjaga keselamatan atau nama baik nara sumber.
  3. Wartawan tidak selayaknya memasukkan opini pribadinya dalam sebuah karya jurnalistik. Yang seharusnya ditampilkan dalam tulisan adalah opini para nara sumber.
  4. Setiap pernyataan yang terangkum dalam karya jurnalistik hendaknya disertai oleh data yang mendukung. Jika tidak, pers dapat dianggap sebagai penyebar isu atau fitnah belaka. Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap pers menjadi berkurang. Bahkan pihak yang "terkena" oleh pernyataan yang tanpa data tadi, dapat menggiring pengelola pers ke pengadilan.
Demikianlah secara singkat materi teknis jurnalistik ini saya sampaikan. Untuk lebih menperdalam pengetahuan, wawasan dan keterampilan Anda, langkah yang terbaik adalah melalui praktek, latihan, dan membaca buku-buku yang relevan.

Hindari ’Kalimat Raksasa’

Hindari ’Kalimat Raksasa’

Keasyikan kita membaca bisa disebabkan salah satunya dari kalimat yang mudah dimengerti. Untuk bisa membuat orang cepet ngerti, kita harus memberikan trik khusus. Salah satunya adalah jangan pernah membuat ’kalimat raksasa’. Bayangkan, kalo dalam satu paragraf ukuran sedang (sekitar lima baris tulisan dalam kertas ukuran kuarto) hanya terdiri dari satu kalimat, itu sama saja menyuruh pembaca untuk kolaps. Walah, betapa â€کraksasanya’ kalimat itu. Jangankan orang lain yang baca, kita sendiri mungkin akan capek melahapnya. Kalimat seperti itu dijamin bikin manyun yang baca.
Bagi penulis pemula, selalu muncul kesulitan menyampaikan maksud. Itu sebabnya, hampir semua keinginan ditulis dalam satu kalimat. Celakanya, jadi nggak bisa mengontrol panjang-pendeknya kalimat. Meskipun dalam kalimat tersebut ada tanda koma, tapi tetap sangat berbahaya. Pembaca akan menganggap bahwa itu harus dibaca dalam satu tarikan napas. Perhatikan kalimat di bawah ini:
“Ada anggapan bahwa Valentine’s Day adalah hari kasih sayang yang full of love dan diperingati remaja sedunia setiap tahunnya dengan penuh suka-cita yang menggelora dalam gejolak jiwa muda yang penuh warna.”

Kira-kira gimana bacanya? Capek bukan? Sekarang bandingan dengan contoh di bawah ini, setelah kalimat itu dipermak jadi lebih irit:
“Valentine’s Day sering dianggap sebagai hari kasih sayang. Pestanya dimeriahkan remaja di seluruh dunia. Mereka suka-cita dalam gejolak jiwa muda yang menggelora dan penuh warna.”

Lebih rileks kan bacanya? Jadi, pastikan bahwa setiap kalimat yang kita buat tidak bikin capek yang baca. Biasakan dari sekarang. Coba terus dalam latihan kamu. Jangan pernah merasa bosan. Kalo kebetulan kamu menemukan dalam tulisanmu ada ’kalimat raksasa’. Pahami isinya, lalu buat kalimat sejenis dengan lebih irit kata. Buang kata-kata yang nggak perlu. Utamanya yang maknanya hampir sama. Lebih bagus jika dipecah lagi menjadi beberapa kalimat kecil. Kebiasaan penulis pemula adalah suka membuat kata-kata yang bombastis. Bombastis boleh-boleh saja. Tapi harus memperhatikan ruang untuk kalimat. Supaya tidak sesak dan melelahkan pembaca.

Oya, beberapa orang memang sering dijangkiti ’penyakit’ susah mengungkapkan sesuatu dengan lebih efisien. Itu adalah kebiasaan kurang baik. Itu sebabnya, kudu diubah dengan jenis kebiasaan baru yang lebih baik. Nah, latihan kamu bisa dicoba sebagaimana seseorang yang belajar untuk bicara lebih efisien. Gunakan kata-kata yang mudah dipahami. Sampaikan pesan dengan singkat. Gunakan kosa kata seperlunya. Sebab, belajar menghindari ’kalimat raksasa’ sama artinya dengan membiasakan membuat kalimat efektif. Dan itu akan membuat tulisanmu enak dibaca. Nggak bikin orang mengernyitkan dahi. Sebab, panjangnya kalimat, meski ada tanda ’koma’, tetap akan dipahami oleh pembaca sebagai bacaan dalam satu tarikan napas.

Saya sendiri hampir selalu mengecek ulang kalimat yang saya buat. Jika dirasa panjang, saya potong seperlunya. Kadang membuang beberapa kata yang mengganggu alur kalimat. Intinya, kita harus paham dengan apa yang akan kita sampaikan. Pesan saya, kalo kamu ingin menyampaikan berita, pastikan dengan intonasi yang enak didengar. Nah, kalo kamu ingin menuliskan berita, maka kudu dengan kalimat yang enak dibaca. Salah satunya, dengan membuat kalimat pendek. Pokoknya, hindari membuat ’kalimat raksasa’! Dijamin kagak bikin bete deh. Cobalah…

Menulis Resensi, Belajar Mengkritisi

Menulis Resensi, Belajar Mengkritisi

Kata orang, jadi tukang kritik itu menyebalkan. Belum lagi kalo cuma “omdo”. Tahu kan yang saya maksud? He..he.. iya, maksudnya omong doang. Hmm… kalo itu yang dimaksud, memang menyebalkan ya? Sebab, kalo bisanya cuma menyalahkan tapi nggak bisa berargumentasi, cocok diberi gelar “omdo”. Kenneth Taylor pernah bilang bahwa seorang kritikus itu, seperti seseorang yang tahu jalan tapi tidak pandai mengemudikan mobil. Nah lho. Padahal, nggak selalu kan ya? Justru menjadi kritikus itu adalah untuk memberi point plus-minus kepada sesuatu berdasarkan pengamatan dan penilaian yang bisa dipertanggung-jawabkan. Betul?

Sobat muda muslim, kalo ingin belajar melihat buku dengan objektif, dan kita ingin menjelaskan kepada orang lain tentang isi buku tersebut, cocok banget kalo kita belajar meresensi buku. Resensi? Apaan tuh?

Resensi itu asal katanya dari bahasa negerinya Ruud van Nistelrooy (dari kata recensie). Dalam bahasa Inggris, kamu bisa dapetin padanan katanya dengan istilah review (ini juga berasal dari bahasa Latin: revidere; re “kembali”, videre “melihat”). Dalam bahasa Indonesia, kita suka mengenal istilah timbangan buku, tinjauan buku, pembicaraan buku, belakangan muncul istilah populer: bedah buku. Sebenarnya meresensi nggak terbatas pada buku (baik fiksi dan nonfiksi) aja lho. Pementasan seni seperti film, sinetron, tari, drama, musik, atau kaset dan VCD juga bisa kita kupas abis isinya. Nggak hanya itu, resensi juga bisa dilakukan untuk pemeran seni macam seni lukis dan seni patung. Oke deh, itu cuma sekilas info soal asal mula kata resensi. Moga kamu makin ngeh dengan penjelasan ini.

Nah, sebagai salah satu komoditi dari menulis, meresensi adalah pekerjaan yang menyenangkan. Suer. Kagak bohong. Jika kamu berhasil meresensi sebuah buku bermutu. Maka, selain kamu bisa membaca dan menilai buku itu secara luar-dalam, kamu juga jadi dapat wawasan baru. Dan tentunya berkah baru. Berkah? Benar. Jika hasil resensi kita tentang suatu buku bagus dan dimuat di media massa, maka penerbit yang baik hati akan memberimu bingkisan. Mulai dari buku-buku baru, juga ada yang rela ngasih uang saku. Walah, uenak tenaan rek!

Itu sebabnya, sebagai sebuah keterampilan, meresensi buku juga bisa kamu geluti. Mungkin ada yang belum bisa gimana caranya meresensi buku. Coba tunjuk jari bagi kamu yang belum bisa meresensi buku. Oke deh, biar â€کadil’, saya akan ngasih sedikit tip hasil gabungan antara teori dan praktik berdasarkan pengalaman saya. BTW, gini-gini juga saya sering ngerensi buku lho.. (pede abis bo!) J

Omong-omong, apa sih tujuan utama kita meresensi?
Memberikan informasi atau pemahaman yang komprehensif (menyeluruh) tentang apa yang tampak dan terungkap dalam sebuah produk (buku, kaset, film, sinetron dan sejenisnya yang udah saya sebutkan di atas).
Mengajak pembaca untuk memikirkan, merenungkan, dan mendiskusikan lebih jauh fenomena atau problema yang muncul dalam sebuah produk.
Memberikan pertimbangan kepada pembaca apakah sebuah produk pantas mendapat sambutan masyarakat atau malah sambitan? J
Menjawab pertanyaan yang (mungkin) muncul jika seseorang melihat produk yang baru diluncurkan (diterbitkan), seperti: (selain buku, sesuaikan dengan kategorinya)
Siapa pengarangnya? (kalo film/sinetron/drama; siapa sutradara dan para pemainnya? Untuk seni luksi; siapa pelukisnya?).
Mengapa ia menulis buku tersebut?
Apa pernyataannya?
Bagaimana hubungannya dengan buku-buku sejenis karya pengarang yang sama?
Bagaimana hubungannya dengan buku-buku sejenis yang dihasilkan pengarang-pengarang lain?
Untuk segolongan pembaca resensi yang:
Membaca agar mendapatkan bimbingan dalam memilih-milih buku tersebut.
Setelah membaca resensi produk berminat untuk membaca atau mencocokkan seperti apa yang ditulis dalam resensi.
Tidak ada waktu untuk membaca buku kemudian mengandalkan resensi sebagai sumber informasi.

Nah, di sinilah kalo kita menulis sebuah resensi akan membantu teman-teman yang

Barangkali nggak punya waktu untuk memperhatikan buku, film, sinetron, dan sejenisnya jadi terbantu untuk mendapatkan sumber informasinya dari sebuah resensi. Asyik nggak bisa bantu orang?

Oya sebelum kamu â€کnekatz’ meresensi sebuah produk, katakanlah buku, paling nggak kamu udah memahami dasar-dasar meresensinya. Mau tahu? Silakan catet di bawah ini:
Sebagai pereseni, kamu kudu memahami betul tujuan si pengarang buku tersebut. Untuk mengetahuinya, baca deh kata pengantar dari si penulis, biasanya di situ ada uraian singkat tentang latar belakang penulisan bukunya. Terus, kamu bisa lihat, bener nggak dengan apa yang ditulisnya itu dengan isi buku. Caranya? Kamu kudu menbaca seluruh bagian dari buku tersebut.
Sebagai peresnsi, kamu menyadari sepenuhnya tujuan meresensi karena sangat menentukan corak resensi yang akan dibuat.
Kamu juga dituntut untuk paham betul dengan latar belakang pembaca yang menjadi sasaranmu: selera, pendidikan, status sosial, dsb. Itu sebabnya, resensi pada setiap media massa nggak selalu sama gaya bahasanya. Jadi, jangan sampe ngirim naskah resensi kepada media dewasa, tapi malah menggunakan gaya bahasa remaja. Jadi tulalit kan nantinya?
Sebagai peresensi, kamu tentunya kudu paham dengan visi dan misi setiap media massa. Tujuannya, supaya kita tahu harus dikirim ke mana jika naskahnya adalah begini dan begitu. Jadi jangan sampe tulalit lagi ya? Bener. Soalnya kasihan banget kan, ngirim ke media massa yang anti Islam, eh, malah ngirimin resensi tentang buku Islam, itu namanya siap dicuekkin. Atau salah sasaran seperti meresensi buku tentang beternak lele dumbo tapi dikirim ke media massa khusus politik. Dikacangin deh. Emang enak? J

Oke deh, kita ambil contoh buku untuk diresensi (untuk mersensi film, sinetron, seni lukis, kaset, VCD dan sejenisnya bisa menyesuaikan sendiri ya?). Yup, sekarang apa persiapan yang kudu disusun sebelum merensi or membedah buku? Langkah awal, jelas kamu kudu memilih dulu bukuyang kiranya pantas untuk diresensi. Kamu pilih buku yang kira-kira menarik untuk disampaikan informasi tentang isinya kepada khalayak. Langkah-langkah yang bisa kamu lakukan adalah sebagai berikut:
Mengenali atau menjajaki buku yang akan kamu resensi.
Mulai dari tema buku yang diresensi, disertai deskripsi (penggambaran) isi buku.
Siap penerbit yang menerbitkan buku itu, kapan dan di mana diterbitkan, tebal (jumlah bab dan halaman), fromat (ukurannya), hingga harga.
Siapa pengarangnya: nama, latar belakang pendidikan, reputasi dan prestasi, buku atau karya apa saja yang ditulis hingga mengapa ia sampe nulis buku itu. Jadi cerita singkat tentang pengarangnya.
Buku tersebut termasuk golongan buku yang mana: ekonomi, politik, hukum, agama, pendidikan, filsafat, sosiologi, psikologi dan sejenisnya.
Membaca buku yang akan diresensi secara komfrehensif, cermat dan kunti (baca: tekun dan teliti). Pokoknya seditil-detilnya. Jangan sampe ada yang keliru. Malu dong kalo sampe keliru memberi komentar.
Menandai bagian buku yang akan dijadikan sebagai kutipan dalam resensimu. Biasanya point-point yang menarik dari buku tersebut.
Membuat sinopsis atau intisari dari buku yang akan kamu resensi.
Menentukan sikap kamu sebagai perensi dengan menilai hal-hal berikut:
Kerangka atau organisasi tulisan; bagaimana hubungan antar bagian, bagaimana sistematikanya, juga seperti apa dinamikanya.
Isi pernyataan: bagaimana bobot idenya, bagaimana analisnya, bagaimana penyajian datanya, dan bagaimana kreativitas pemikirannya.
Bahasa: bagaimana penerapan EYD-nya, bagaimana kalimat dan penggunaan katanya (terutama untuk buku ilmiah). Gaya bahasanya enak dibaca apa nggak, susah dipahami atau mudah dipahami.
Aspek teknis: bagaimana tata letak, bagaimana desain sampulnya, kerapian dan sejenisnya dari buku itu.
Mengoreksi dan merevisi hasil resensi dengan menggunakan dasar-dasar dan kriteria yang udah kita tentukan sebelumnya.

Nah, untuk film dan sinetron dalam penilaianmu bisa dibidik; skenarionya, alur ceritanya enak apa nggak (misalnya melompat-lompat apa mengalir enak), bagaimana dengan dialog-doalog di ceritanya tersebut, bagaimana akting dari para pemainnya, tata suara, tata gambar, dan latarnya bagus apa nggak. Wah, pokoknya kamu ulik deh segala detil yang ada di film tersebut.

Biar hasil resensi kita menarik, buatlah judul yang oke punya. Tentang judul, sebetulnya bisa mengacu kepada tip sebelumnya. Yakni pastikan judulnya menarik. Jadi, saya nggak usah bahas secara detil lagi ya? Oke?

Sobat muda muslim, saya masih sedikit lagi tip singkat untuk meresensi buku. Biasanya, setiap penulis suka kesulitan dalam memulai pembukaan tulisannya. Benar? Nah, untuk meresensi buku, bisa dengan kata-kata pembukaan sebagai berikut:

1. Bercerita tentang pengarangnya. Kamu bisa nulis begini: “Prof. Pulan bin Pulan sangat sangat akurat sekali menyajikan hasil penelitiannya. Ini sungguh sangat menggemparkan. Hasil kajiannya tentang atom ini mendapat sambutan dari berbagai kalangan…. dst …dst..”

2. Cerita tentang kekhasan sang pengarang. Kamu boleh juag menuliskan seperti ini: “Ciri khas Sdr. Ahmad dalam membuat buku adalah dengan judul-judul yang menghentak, bahkan terkesan sangat provokatif sekali. Buku-buku sebelumnya juga sudah sukses terjual dan masuk best seller… bla..bla..”

3. Menulis tentang keunikan bukunya. Boleh-boleh saja kamu menulis, “Sangat luar biasa, dengan ukuran buku saku yang ditulisnya ini, Mahmud berhasil menuangkan gagasannya yang besar dengan simple dan mudah dimengerti. Ia memanfaatkan keterbatasan ukuran buku saku itu dengan menuliskan seluruh pengalamannya dengan singkat dan padat, dan tetunya bermakna… dst..dst…”

4. Tentang tema buku. Untuk urusan ini, kamu boleh-boleh aja nulisnya begini, “Tema cinta selalu menarik untuk dibicarakan dan dituliskan. Bahkan sejak lama film, novel, cerpen, dan juga lagu tentang cinta melenggang dengan manis berkisah tentang cinta. Mengasyikan…. dst..”

5. Kelemahan buku. He..he.. nggak ada salahnya kamu langsung menuding dengan menuliskan, “Jelek sekali buku ini. Bukan hanya judulnya yang tak menarik, isinya pun membuat kita kurang bergairah membacanya. Meski ada data menarik di sana-sini, tapi itu sudah usang!.. dst…”

6. Kesan terhadap buku. Silakan menulis seperti ini, “Jangan anggap enteng hasil investigasi wartawan muda enerjik ini. Reportasenya tajam dengan gaya bertutur yang sangat enak dibaca… dst..dst..”

7. Penerbit buku. Jangan ragu menuliskan seperti ini, “Setelah menerbitkan buku kumpulan cerpennya yang menjadi best sellers ini, penerbit ABCD kembali meluncurkan novel terbarunya yang menghentak dari penulis mdua berbakatnya… bla…bla…”

8. Memulai dengan pertanyaan. Kamu boleh kok menulis, “Kamu suka memasak? Nggak ada salahnya untuk belajar membuat menu menarik yang terangkum dalam buku saku tentang tip memasak ini.. dst…”

Nah, setelah membuat pembukaan tulisan, kamu perlu membuat isi dan penutup resensi kan? Untuk â€کtubuh; resensi kamu bisa cerita tentang isi buku tersebut. Ambil kutipan seperlunya. Jangan terlalu banyak. Karena terlalu banyak, itu namanya memindahkan buku tersebut. Jadi, hati-hati. Dan ingat lho. Setiap media massa biasanya menyediakan ruangan yang sangat terbatas untuk sebuah kolom resensi. Cukup kamu cerita tentang kelebihan dan kekurangan buku tersebut. Gaya bahasanya, ejaanya, cara penulis tersebut menuturkan maksudnya dan lain sebagainya. Kemudian untuk mengakhir tulisan resensi, bisa kamu simpulkan dengan memberi ketegasan. Untuk siapa buku tersebut â€کwajib’ dibaca, bagaimana sikapmu terhadap isi buku itu; mendukung atau menolak, sampe menyarankan untuk ini dan itu kepada pembaca.

Intinya sih, supaya pembaca bisa menimbang-nimbang apakah akan membeli buku itu, atau malah memilih memasukkan uangnya ke tabungan. Itu terserah pembaca, tapi kamu kudu pembuat keputusan sesuai dengan pengamatan dan penilaian kamu. Subjektif memang. Tapi nggak masalah dan jangan takut selama yang kamu sampaikan benar adanya. Nggak ngarang dan memang kenyataannya seperti itu.

Sobat muda muslim, kalo saya membuat resensi biasanya berkaitan dengan kepentingan umat. Kebetulan aja sih gabung di sebuah majalah remja Islam, jadinya selalu membela Islam dong. Saya pernah meresensi kaset, film, sinetron, juga buku. Semua itu dinilai dengan sudut pandang Islam (penjelasan ini lihat tip: Tentang Subjektif dan Objektif).

Oke deh, siapkan energimu untuk menulis resensi. Kritis boleh, asal jangan “omdo”. Ayo kamu bisa menjadi perensi ulung. Menulis itu memang menyenangkan. Benar-benar menyenangkan. Sebagai bantuan, silakan baca tulisan resensi yang dibuat sama orang lain. Itu sangat membantu kamu untuk nyari inspirasi. Siap? Harus dong..!

Membuat Tulisan Feature

Membuat Tulisan Feature

Nah, setelah kamu tahu apa itu feature, sekarang kita masuk ke teknik membuat tulisan berjenis feature ini. Sebetulnya hampir sama dengan teknik menulis artikel lainnya, hanya saja dalma menulis feature kita dituntut untuk lebih â€کmenyentuh’ dan memberikan nuansa lain dari sekadar sebuah berita. Itu sebabnya, feature bisa berfungsi sebagai penjelasan atau tambahan untuk berita yang sudah disiarkan sebelumnya, memberi latar belakang suatu peristiwa, menyentuh perasaan dan mengharukan, menghidangkan informasi dengan menghibur, juga bisa mengungkap sesuatu yang belum tersiar sebagai berita.

Sobat muda muslim, yang perlu mendapat perhatian dalam penulisan feature ini, adalah lead yang menarik (kita kan pernah belajar ya? Coba deh tengok lagi tip sebelumnya…). Nah, lead dalam feature inilah yang sepertinya penting, meski bukan pokok memang. Bahkan jangan lupa, selain lead, kamu juga kudu membuat tubuh dan endingnya dari tulisan tersebut. Sangat boleh jadi â€کending’ sebuah feature sama pentingnya dengan lead. Jadi kudu menarik dan menggoda pembaca. Misalnya memberikan kesimpulan atau mungkin ada â€کceletukan’ atau sindiran yang menggoda pembaca. Di sinilah editor biasanya paling pusing untuk memotong tulisan jenis feature, nggak gampang lho. Sama sulitnya dengan â€کmengobrak-abrik’ naskah cerpen. Kenapa? Karena semua bagian dalam feature itu penting. Itu saja.

Nah, harus diakui bahwa yang terpenting dalam pembuatan tulisan berjenis feature ini adalah lead. Kekuatannya ada di sana. Lead ibarat pembuka jalan. Jadi kudu benar-benar menarik dan mengundang rasa penasaran pembaca untuk terus membaca. Sebab, gagal dalam menuliskan lead pembaca bisa ogah meneruskan membaca. Nah, gagal berarti kehilangan daya pikat. Itu sebabnya, penulis feature kudu pinter betul menggunakan kalimatnya. Bahasa harus rapi dan terjaga bagus dan cara memancing itu haruslah jitu. Memang sih, nggak ada teori yang baku tentang menulis lead sebuah feature. Semuanya berdasarkan pengalaman dan juga perkembangan. Saya modifikasi dari perkembangan yang saya lihat di berbagai media massa dan sedikit teori umum tentang itu. Namun, sebagai garis besar beberapa contoh lead bisa disebutkan sebagai berikut:


Lead Ringkasan:

Lead ini hampir mirip dengan berita biasa, bedanya, yang ditulis adalah inti ceritanya. Banyak penulis feature menulis lead gaya ini karena gampang. Misal: Usia tua bukan halangan bagi Bu Maryam untuk tetap bertahan jualan gado-gado di kantin sekolah kita. Ia, dengan semangat tinggi bertekad menghidupi anaknya agar bisa sekolah seperti yang lain. Dan seterusnya…. Pembaca sudah bisa menebak, yang mau ditulis adalah penjual makanan bernama Bu Maryam yang sudah tua.

Lead Bercerita:

Lead ini menciptakan suatu suasana dan membenamkan pembaca seperti ikut jadi tokohnya. Misal: Anak berseragam putih-abu itu menenteng balok kayu. Sorot matanya tajam bagai elang mengincar mangsanya. Sejurus kemudian ia memberi komando untuk menyerang lawannya dari sekolah lain. Tawuran pun tak bisa dihindari lagi. Warga sekitar kejadian, yang kebanyakan ibu-ibu ketakutan menyaksikan drama itu… Pembaca masih bertanya apa yang terjadi. Padahal feature itu bercerita tentang maraknya tawuran pelajar yang selama ini selalu bikin resah.

Lead Deskriptif:

Lead ini menceritakan gambaran kepada pembaca tentang suatu tokoh atau suatu kejadian. Penulis yang hendak menulis profil seseorang, biasanya seneng banget bikin lead kayak begini. Misal: Sesekali wanita tua itu mengelap keringatnya yang mengucur dengan ujung kebayanya, ia terus mengulek bumbu pecel. Sementara anak-anak sekolah sibuk berebutan membeli gorengan di kantin sekolah itu. Meski banyak anak yang suka curang dengan tidak membayar dagangannya, Bu Maryam tak pernah ambil pusing, “Mungkin dia tidak punya uang”, katanya suatu saat….. dst….Pembaca mudah terhanyut oleh lead begini, apalagi penulisnya ingin membuat kisah Bu Maryam yang bak pelangi.

Lead Pertanyaan:

Lead ini menantang rasa ingin tahu pembaca, asal dipergunakan dengan tepat dan pertanyaannya wajar saja. Lead begini sebaiknya satu alinea dan satu kalimat, dan kalimat berikutnya sudah alinea baru. Misal: Untuk apa mereka berjihad ke Irak? Memang ada yang sinis dengan dibukanya pendaftaran relawan untuk berjihad ke Irak, menyusul invasi AS dan sekutunya ke negeri seribu satu malam itu 20 Maret lalu. Bahkan pemerintah pun menanggapi dingin rencana tersebut bahkan ada yang pejabat yang mengatakan “konyol” terhadap rencana tersebut…dst….Pembaca kemudian disuguhi feature tentang rencana relawan yang akan berjihad ke Irak.

Lead Nyentrik:

Lead ini nyentrik, ekstrim, bisa berbentuk puisi atau sepotong kata-kata pendek. Hanya baik jika seluruh cerita bergaya lincah dan hidup cara penyajiannya. Misal:

Hancurkan Amerika!

Tangkap Bush!

Bush Teroris!

Tegakkan Khilafah

Hancurkan demokrasi!

Teriakan itu bersahut-sahutan dari ribuan pendemo di depan Kedubes AS dalam unjuk rasa menentang invasi AS dan sekutunya ke Irak …. dst…. Pembaca akan disuguhi feature tentang tuntutan para pengunjuk rasa tersebut.

Lead Menuding:

Lead ini berusaha berkomunikasi langsung dengan pembaca dan ciri-cirinya adalah ada kata “Anda” atau “Saudara” (bisa juga Kamu). Pembaca sengaja dibawa untuk menjadi bagian cerita, walau pembaca itu tidak terlibat pada persoalan. Misal: Kamu jangan bangga dulu punya HP oke. Meski kemana-mana nenteng ponsel yang fiturnya seabrek, boleh jadi kamu buta tentang teknologi telgam ini dst….

Lead Kutipan:

Lead ini bisa menarik jika kutipannya harus memusatkan diri pada inti cerita berikutnya. Dan tidak klise. Misal: “Saya akan terus berjuang sampai titik darah yang penghabisan. Lebih baik mati daripada menanggung derita karena dijajah Israel,” kata seorang pemuda Palestina dengan lantangnya saat membakar bendera Israel di Tepi Barat dalam sebuah demonstrasi yang digelar ratusan pejuang Palestina itu… dan seterusnya. Pembaca kemudian digiring pada kisah perjuangan rakyat Palestina.

Lead Gabungan:

Ini adalah gabungan dari beberapa jenis lead tadi. Misal: “Saya tak pernah merasa gentar menghadapi serbuan AS dan sekutunya” kata Saddam Husein dalam pidato yang berapi-api itu. Ia tetap tersenyum cerah dan melambai-lambaikan tangannya di hadapan ribuan rakyat Irak di sela-sela pidatonya itu…. Ini gabungan lead kutipan dan deskriptif. Dan lead apa pun bisa digabung-gabungkan. Coba ya…

Nah, setelah kita membuat lead, jangan lupa membuat isinya, yakni yang disebut dengan “Batang Tubuh”. Lead yang menarik, tentu kudu didukung dengan batang tubuh yang oke juga. Tapi yang jelas fokus cerita jangan sampai menyimpang. Buatlah kronologis, berurutan dengan kalimat sederhana dan pendek-pendek (lihat tip ke-8, “Hindari Kalimat Raksasa”). Terus deskripsi, baik untuk suasana maupun orang (profil) mutlak untuk pemanis sebuah feature.

Kalau dalam berita, cukup ditulis begini: Bu Maryam penjual makanan yang sabar di kantin sekolah kita. Paling hanya dijelas kan sedikit soal Bu Maryam. Tapi dalam feature, kamu dituntut lebih banyak. Profil lengkap Bu Maryam diperlukan, agar orang bisa membayangkan. Tapi tak bisa dijejal kayak begini: Bu Maryam, penjual makanan di kantin sekolah kita, yang sudah tua dan menjanda, umurnya 50 tahun, anaknya 6, rumahnya di Tanah Abang, tetap sabar. Walah, itu mah kurang greget atuh. He..he..

Kamu kudu memecah data-data itu. Misalnya, alenia pertama cukup ditulis: Bu Maryam, 50 tahun, penjual yang sabar. Lalu jelaskan tentang contoh kesabarannya. Bu Maryam yang sudah tua tak kenal lelah berjualan, untuk menghidupi keenam anaknya yang sebagian masih berusia remaja. Di bagian lain bisa ditulis: “Demi anak-anak, saya rela membanting tulang kerja keras” kata wanita yang ditinggal mati suaminya 10 tahun lalu dan kini tinggal di sebuah rumah di kawasan Tanah Abang. Dan seterusnya.

Anekdot perlu juga untuk sebuah feature. Tapi jangan mengada-ada dan dibikin-bikin ya? Jadi nggak menarik nantinya. Kutipan ucapan juga penting, agar pembaca tidak jenuh dengan suatu reportase. Nah, detil penting tetapi harus tahu kapan terinci betul dan kapan tidak. Misalnya, Bis itu masuk jurang dengan kedalaman 15 meter lebih 40 centi 8 melimeter…, apa pentingnya itu? Sebut saja sekitar 15 meter.

Beda dengan yang ini: Gol kemenangan Juventus dicetak Pavel Nedved pada menit ke 44, ini penting. Sebab nggak bisa disebut sekitar menit ke 45. Kenapa? Karena menit 45 sudah setengah main. Dalam olahraga sepakbola, menit ke 41 beda jauh dengan menit ke 35. Bahkan dalam atletik, waktu 10.51 detik banyak bedanya dengan 10.24 detik. Belum lagi ngitung waktu dalam arena balapan F1, seper sekian detik juga akan diperhitungkan. Tul nggak?

Oya, â€کkecanggihan’ lead dan batang tubuh nggak bakalan sempurna kalo nggak ada â€کending’ (penutup). Kalo dalam berita malah tidak ada penutup. Untuk feature paling nggak ada empat jenis penutup. Pertama, penutup “Ringkasan”. Sifatnya merangkum kembali cerita-cerita yang lepas untuk mengacu kembali ke intro awal atau lead. Kedua, penutup “Penyengat”. Jadi, membuat pembaca kaget karena sama sekali tak diduga-duga. Misalnya, menulis feature tentang gembong pelaku curanmor yang berhasil ditangkap setelah melakukan perlawanan. Kisah sudah panjang dan seru, pujian untuk petugas polisi sudah datang, dan sang penjahat itu pun sudah menghuni sel tahanan. Tapi, ending feature adalah: Esok harinya, penjahat itu telah kabur kembali. He..he..he..

Ketiga, penutup “Klimak”. Ini penutup biasa karena cerita yang disusun tadi sudah kronologis. Jadi penyelesaiannya jelas. Keempat, penutup “Tanpa Penyelesaian”. Cerita berakhir dengan mengambang. Ini bisa taktik penulis agar pembaca merenung dan mengambil kesimpulan sendiri, tetapi bisa pula masalah yang ditulis memang menggantung, masih ada kelanjutan, tapi tak pasti kapan. Misalnya: Entah sampai kapan perang AS-Irak ini akan berakhir.

Yup, ini sekilas aja tentang teknik penulisan feature. Kamu bisa mencari ide untuk bahan penulisan dari kehidupan sehari-hari, berita aktual, kehidupan seseorang, dan peristiwa lainnya. Sebab, yang terpenting ada newspeg, alias cantelan berita, karena feature bukan fiksi. Ia fakta yang ditulis dengan gaya mirip fiksi. Banyak hal yang bisa ditulis dengan gaya feature. Buat menambah wawasan dan mengasah keterampilanmu, seringlah membaca tulisan orang lain dengan gaya penulisan feature. Pelajari, dan buatlah dengan gaya bahasamu. Sip kan? Ditanggung antimanyun deh. Selamat mempraktikkan

Membuat Kerangka Tulisan

Membuat Kerangka Tulisan

Perlu lho membuat kerangka tulisan. Dalam bahasa kerennya, kamu perlu bikin outline. Alasannya, kerangka tulisan berguna untuk membatasi apa yang kudu kita tulis. Ibarat Pak Tani yang akan menggarap sawah, ia kudu menentukan batas garapannya. Supaya nggak melebar kemana-mana, apalagi sampe ngambil jatah orang. Di sekolah, guru bahasa Indonesia yang paling â€کcerewet’ supaya kita bikin kerangka tulisan, saat akan membuat tulisan. Ada baiknya memang. Kita jadi terlatih.

Dengan membuat kerangka tulisan, kita akan mudah untuk menentukan maksud dan arah tulisan. Bahkan kita juga bisa berhemat dengan kata-kata, termasuk pandai memilih kosa kata yang pas untuk alur tulisan kita. Itu sebabnya, bagi kamu yang baru pertama kali belajar menulis, membuat kerangka tulisan menjadi semacam â€کkewajiban’. Maklumlah, orang baru kan perlu dituntun. Tul nggak?

Bagaimana cara membuat kerangka tulisan? Sobat, kerangka tulisan sama artinya dengan menentukan apa saja topik yang akan kita bahas. Jadi semacam tahapan pembahasan. Harapannya, orang yang baca jadi mudah paham dengan apa yang kita maksud dalam tulisan kita buat. Jelas alurnya. Misalnya, kalo kamu mau bikin tulisan tentang Valentine’s Day, maka bisa saja outline yang kamu susun seperti ini:
Arti Velentine’s Day
Asal-usul Valentine’s Day
Fakta saat ini
Siapa yang merayakan?
Pandangan Islam tentang perayaan tersebut

Wah, dengan model kerangka tulisan (outline) seperti ini kamu bisa mengembangkan jadi tulisan yang panjang. Mungkin kalo tujuannya untuk ditempel di mading, paling nggak kamu bisa menuliskannya sebanyak 2 atau 3 lembar kertas kuarto (dengan tulisan yang bisa dibaca dari jarak 1 meter). Kalo tujuannya untuk dimuat di buletin sekolah, bisa kamu kembangkan hingga 4 halaman kuarto (dengan huruf lebih kecil). Pokoknya, seru deh.

Bahkan sangat boleh jadi, tema yang sama akan bisa dibuat outline yang berbeda. Bergantung kepada sasaran yang hendak dituju. Jadi, kerangka tulisan memang sangat bergantung kepada tujuan dan maksud yang ingin kita sampaikan kepada pembaca. Dan itu memang memungkinkan. Silakan diutak-atik deh. Sebab, yang terpenting dalam kerangka tulisan adalah bagaimana kita bisa membatasi apa-apa yang akan kita sampaikan. Seperti halnya orang berbicara. Kalo kamu akan bicara tentang fenomena kriminalitas remaja, maka tentunya kamu harus membuat semacam kerangka dari apa saja yang akan dibicarakan. Tujuannya jelas, supaya ketika berbicara nggak melebar ke mana-mana. Paham kan?

Tulisan tentang apa saja bisa dibuatkan kerangka tulisannya. Kalo kamu hobi bercocok tanam, kamu bisa bikin kerangka tulisan sebanyak-banyak tentang tomat, sawo, jeruk, jagung, apel dan lain sebagainya. Banyak orang suka dengan hal-hal praktis. Itu sebabnya, kamu bisa bikin teknik menanam sawo, cara hemat menanam tomat dsb. Jadi, nggak ada alasan untuk malas membuat tulisan, termasuk membuat kerangka tulisannya.

Saya sendiri kalo mau menulis, kudu membuat kerangka tulisannya. Waktu awal-awal pengen bisa menulis, saya selalu menuliskan kerangka tulisan dalam sebuah kertas. Nah, karena menulis itu adalah keterampilan, biasanya kalo terus melakukan, akan terlatih juga. Maka, seterusnya kerangka tulisan biasanya cukup disimpan dalam otak. Nanti jalan sendiri. Ini pernah saya rasakan. Kata pepatah, “Bisa karena biasa” bener juga adanya.

Intinya, kerangka tulisan itu perlu dibuat, terutama bagi kamu yang ingin â€کselamat’ dalam menulis. Supaya nggak melebar ke mana-mana. Kerangka tulisan ibarat kompas, yang akan menuntun kita kepada arah tulisan yang kita maksud. Bahkan kerangka tulisan bisa jadi â€کkorektor’. Misalnya kita udah buat tulisan, tapi ternyata setelah kita baca hasilnya, tulisan tersebut malah melebar. Nah, itu akan membuat kita merapikan kembali tulisan yang udah dibuat. Biar oke kalo dibaca orang.

Sekarang, jangan bengong aja. Coba buat kerangka tulisan sebanyak-banyaknya. Kelak akan menolong kamu dalam menulis. Siapa tahu kan? Oke deh, jangan lupa dengan 5 tips sebelumnya dalam “Menulis Itu Menyenangkan”. Coba ya…

Pastikan Membuat Sub-Judul

Pastikan Membuat Sub-Judul

Sub-judul amat menolong kita untuk menggolongkan dan membatasi pembahasan dalam sebuah tulisan jenis artikel dan berita. Pembaca pun dibuat mudah membaca alur tulisan yang kita rangkai. Sehingga mereka terus bertahan untuk mengikuti tulisan kita sampai habis. Mereka juga akan sangat terbantu memahami apa yang kita tulis. Itu sebabnya, sub-judul menjadi begitu penting dalam sebuah tulisan.

Sobat muda muslim, keterampilan seperti ini perlu juga kamu miliki. Kamu akan lebih mudah membuatnya manakala sudah terbiasa membuat outline (lihat lagi di tips yang sebelumnya ya). Coba saja iseng-iseng bikin tulisan yang panjang tanpa â€کdihias’ dengan subjudul. Duh, rasanya seperti kita disuruh menelusuri jalan tanpa ada tempat untuk istirahat. Tempat yang akan kita gunakan untuk melepas lelah. Setelah rileks, kita melanjutkan kembali perjalanan. Enak banget rasanya.

Subjudul dalam sebuah tulisan, juga berfungsi untuk menghilangkan kejenuhan dalam membaca. Kita juga jadi ada nafas baru untuk menyegarkan kembali tulisan yang akan kita buat. Suer, pengalaman saya dalam menulis juga demikian. Saya pernah mencoba membuat tulisan tanpa subjudul. Hasilnya? Saya sendiri cepat capek dan mudah jenuh. Kenapa? Karena pembaca akan menganggap bahwa tulisan itu harus dibaca terus dengan konsentrasi penuh. Pembaca seolah diminta untuk mengingat bacaan yang telah lewat sekaligus â€کmenerka’ alur bacaan berikutnya. Bayangkan, jika tulisan yang kita buat panjang tanpa subjudul, pembaca akan kewalahan banget tentunya. Hmm… kita telah â€کberdosa’ karena â€کmenyiksa’ pembaca dengan tulisan yang kita buat. He..he..he..

Jadi, berlatihlah untuk membagi alur dengan tanpa memenggal rangkaian dari inti tulisan kita. Itu sebabnya, membuat subjudul adalah solusi paling jitu untuk membagi alur. Maka, dalam setiap tulisan yang saya buat, saya selalu memastikan ada subjudul di dalamnya. Manfaatnya, selain menolong kita membagi alur pembahasan, juga memudahkan pembaca untuk menikmati kesimpulan dari isi tulisan yang dibacanya. Tanpa harus berkonsentrasi penuh menjaga ingatan tentang kata-kata yang sudah dibaca sebelumnya.

Oke deh, mulai sekarang pastikan kamu membuat subjudul dalam setiap tulisanmu. Semuanya akan baik-baik kok. Asal kamu sering berlatih. Sebagai langkah awal, lihat deh gimana orang lain membuat tulisan dengan menyertakan subjudul. Saya sendiri awalnya belajar dengan melihat bagaimana orang lain membuat tulisan yang enak dibaca. Dan salah satunya, mereka menyertakan subjudul dalam tulisan-tulisannya. Saya yakin, kamu juga akan bisa membuatnya. Lagi pula, ini kan sekadar pengembangan dari teknik membuat outline. Nah, segera deh praktikkan, jangan ditunda-tunda lagi. Kamu bisa kok!

Open Panel

Blogroll

BVSDGVJSMVBSDBV