Sejarah Jurnalisme di Indonesia
Tokoh pers nasional, Soebagijo Notodidjojo dalam
bukunya PWI di Arena Masa (1988) menulis, Tirtohadisoerjo atau Raden Djokomono
(1875-1918), pendiri mingguan Medan Prijaji yang sejak tahun 1910 berkembang
jadi harian sebagai pemrakarsa pers nasional. Artinya dialah yang pertama kali
mendirikan penerbitan yang dimodali modal nasional dan pemimpinnya orang
Indonesia.
Dalam perkembangan selanjutnya, pers Indonesia menjadi
salah satu alat perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Haryadi Suadi menyebutkan ,
salah satu fasilitas yang pertama kali direbut pada masa awal kemerdekaan
adalah fasilitas percetakan milik perusahaan Koran Jepang seperti Soeara Asia
(Surabaya), Tjahaja (Bandung), dan Sinar Baroe (Semarang).
Menurut Haryadi, kondisi pers Indonesia semakin
menguat pada akhir 1945 dengan terbitnya beberapa koran yang mempropagandakan
kemerdekaan Indonesia seperti, Soeara Merdeka (Bandung), Berita
Indonesia (Jakarta).
Jurnalistik Indonesia Sebelum Merdeka
Di Indonesia pers mulai dikenal pada
abad 18, tepatnya pada tahun 1744, ketika sebuah surat kabar bernama
“Bataviasche Nouvelles” diterbitkan dengan perusahaan orang-orang Belanda.
Surat kabar yang pertama sebagai bacaan untuk kaum pribumi dimulai tahun 1854
ketika majalah “Bianglala” diterbitkan, disusul oleh “Bromartani” pada tahun
1885, kedua-duanya di Weltevreden, pada tahun 1856 “Soerat Kabar Bahasa
Melajoe” di Surabaya. Sejak itu bermunculanlah berbagai surat kabar dengan
pemberitaan bersifat informatif, sesuai dengan situasi dan kondisi pada zaman
penjajahan itu.
Sejarah pers pada abad 20 ditandai dengan munculnya koran pertama milik Bangsa
Indonesia. Modal dari bangsa Indonesia dan untuk bangsa Indonesia, yakni “Medan
Prijaji” yang terbit di Bandung. Medan Prijaji yang dimiliki dan dikelola oleh
Tirto Hadisuryo alias Raden Mas Djokomono ini pada mulanya, yakni tahun 1907
berbentuk mingguan, kemudian pada tahun 1910 diubah menjadi harian.
Tirto Hadisuryo ini dianggap sebagi
pelopor yang meletakkan dasar jurnalistik modern di Indonesia, baik dalam cara
pemberitaan, pemuatan karangan, iklan dan lain-lain. Setelah Boedi Oetomo lahir
yang diikuti oleh gerakan-gerakan lainnya, baik yang berasaskan kebangsaan
maupun yang berdasarkan keagamaan, jumlah surat kabar yang dikelola Indonesia
semakin bertambah karena organisasi-organisasi tersebut menyadari bahwa untuk
menyebarluaskan misinya diperlukan media massa, yang pada waktu itu hanya surat
kabar-lah yang dapat dipergunakan.
Ditinjau dari sudut jurnalistik
salah seorang tokoh bernama Dr. Abdoel Rivai dianggap sebagai wartawan yang
paling terkenal karena tulisannya yang tajam dan pedas terhadap kolonialisme
Belanda. Oleh Adinegoro, Dr. Rivai diberi julukan “Bapak Jurnalistik Indonesia”
dan diakui oleh semua wartawan pada waktu itu sebagai kolumnis Indonesia yang
pertama.
Jurnalistik Indonesia Pasca Kemerdekaan
Seperti juga di belahan dunia lain,
pers Indonesia diwarnai dengan aksi pembungkaman hingga pembredelan.
Haryadi Suadi mencatat, pemberedelan pertama sejak kemerdekaan terjadi pada
akhir 1940-an. Tercatat beberapa koran dari pihak Front Demokrasi Rakyat (FDR)
yang dianggap berhaluan kiri seperti Patriot, Buruh, dan Suara
Ibu Kota dibredel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas dengan
membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan kepentingan Front Nasional.
Sementara itu pihak militer pun telah memberedel Suara Rakjat dengan alasan
terlalu banyak mengkritik pihaknya.
Pada tanggal 1 Oktober 1945 terbit
Harian Merdeka sebagi hasil usaha kaum Buruh De Unie yang berhasil menguasai
percetakan. Pada saat revolusi fisik itu jurnalistik Indonesia mempunyai fungsi
yang khas. Hasil karya wartawan bukan lagi bermanfaat bagi konsumsi pembaca di
daerah pedalaman, tetapi juga berguna bagi prajurit-prajurit dan laskar-laskar
yang berjuang di Front. Berita yang dibuat para wartawan bukan saja
mengobarkan semangat berjuang membela kemerdekaan, tetapi sekaligus sebagai
alat pemukul terhadap hasutan-hasutan pihak Belanda yang disiarkan melalui
berbagai media massanya.
Pada tanggal 1 Januari 1950
berlakulah UUD RIS, tetapi pada tanggal 15 Agustus 1950 RIS dibubarkan, dan
Indonesia menjadi Republik Kesatuan dengan UUDS. Pada waktu itu yakni waktu
pengakuan kedaulatan sampai tahun 1959 yaitu munculnya doktrin demokrasi
terpimpin yang kemudian disusul dengan ajaran Manipol Usdek, kebebasan pers
banyak digunakan untuk saling mencaci-maki dan memfitnah lawan politik dengan
tujuan agar lawan politiknya itu jatuh namanya dalam pandangan khalayak.
Antara tahun 1955 sampai 1958 dengan
UU No. 23 tahun 1954 banyak surat kabar yang dibredel, banyak pula wartawan
yang ditangkap dan ditahan. Tanggal 1 Oktober 1958 dapat dikatakan sebagai
tanggal matinya kebebasan pers Indonesia. Sesudah Dekrit Presiden tanggal 5
Juli 1959, pihak penguasa berturut-turut mengeluarkan peraturan untuk lebih
mengetatkan kebebasan terhadap pers. Persyaratan untuk mendapatkan SIT
diperkeras. Baru beberapa bulan peraturan itu berjalan, kemudahan lahir
peraturan baru yang lebih mempersempit ruang gerak para wartawan yang hendak
mengeluarkan pendapatnya dan pikirannya.
Departemen Penerangan mengeluarkan
peraturan yang menyatakan bahwa surat kabar atau majalah harus didukung oleh
suatu partai politik atau tiga organisasi massa. Surat kabar di daerah yang
semula masih dibenarkan memakai nama berbeda dengan organ resmi dari induk
tempat ia berafiliasi di Pusat harus mengubah namanya sehingga sama dengan
organnya di Jakarta. Akibat peraturan itu dapat dibayangkan bagaimana corak
jurnalistik Indonesia pada waktu itu, ruang para wartawan dipersempit,
keterampilan dikekang, daya pikir ditekan. Tahun 1966 bagi sejarah pers
Indonesia merupakan tahun penting karena pada tahun itulah dikeluarkannya UU
No. 11 tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers.
Ditinjau dari segi kualitas dan
kuantitas, sejarah perkembangan pers dan jurnalistik Indonesia sejak saat itu
menggembirakan dan membanggakan kita. Pada tahun 1988 tercatat ada 263
penerbitan pers, pada tahun 1992 jumlah tersebut meningkat menjadi 277
penerbitan pers.
Jurnalistik Indonesia Zaman Orde Baru
Selama dua dasawarsa pertama Orde
Baru, 1965–1985, kebebasan jurnalistik di Indonesia, memang bisa disebut lebih
banyak bersinggungan dengan dimensi, unsur, nilai, dan roh ekonomi daripada
dimensi politik. Sebagai sarana ekonomi, pers dapat hidup dengan subur tetapi
sebagai wahana ekspresi, penyalur pendapat umum, pengemban fungsi kontrol
sosial, pers Indonesia dihadapkan pada berbagai pembatasan dan tekanan dari
pihak penguasa pusat dan daerah. Orde Baru sangat menyanjung ekonomi namun
membenci politik. Sepanjang 1980, fungsi pers masih mengalami penciutan,
bersamaan dengan pengetatan pengendalian oleh pemerintah terhadap kegiatan
politik dalam masyarakat. Fungsi utama pers sebagai komunikator informasi telah
mengalami kemunduran sehingga yang lebih menonjol adalah fungsinya yang lain
sebagai sarana hiburan. Pers mengalami kepincangan terutama dalam bidang
pendidikan politik.
Kebebasan jurnalistik, kebebasan
pers, dalam dua dari tiga dasawarsa kekuasaan monolitik Orde Baru, hanya lebih
banyak memunculkan kisah sedih daripada kisah sukses yang sejalan dengan amanat
para pendiri bangsa seperti dinyatakan dengan tegas dalam Pasal 28 UUD 1945.
Disebut sebagai era pers tiarap Orde Baru. Hanya dengan tiarap, dengan
mengendap-endap pers kita diharapkan bisa tetap bertahan hidup. Strategi inilah
yang dipilih sebagian pers nasional untuk meloloskan diri dari jebakan-jebakan
kematian. Orde Baru pun akhirnya tumbang pada 21 Mei 1998, lahirlah kemudian
apa yang disebut Orde Reformasi.
Jurnalistik Indonesia Zaman Reformasi
Kebebasan jurnalistik berubah secara drastis menjadi kemerdekaan jurnalistik.
Terjadi euforia di mana-mana kala itu.
Secara yuridis, UU Pokok Pers No 21/1982 pun diganti dengan UU Pokok Pers No
40/1999. Dengan undang-undang baru dan pemerintahan baru, siapa pun bisa
menerbitkan dan mengelola pers. Siapa pun bisa menjadi wartawan dan masuk
organisasi pers mana pun. Hal ini ditegaskan pada Pasal 9 ayat (1) UU Pokok
Pers No 40/1999, setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan
perusahaan pers. Ditegaskan lagi pada ayat (2), setiap perusahaan pers harus
berbentuk badan hukum Indonesia.
Kewenangan pers nasional itu sendiri
sangat besar. Menurut Pasal 6 Pokok Pers No. 40/1999, pers nasional
melaksanakan peranan: (1) memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, (2)
menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan
hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan,
(3) mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi
yang tepat, akurat, dan benar, (4) melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan
saran terhdap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan (5) memperjuangkan
keadilan dan kebenaran.
Dalam era reformasi, kemerdekaan pers benar-benar dijamin dan diperjuangkan.
Semua komponen bangsa memiliki komitmen yang sama: pers harus hidup dan
merdeka. Hidup, menurut kaidah manajemen dan perusahaan sebagai lembaga
ekonomi. Merdeka, menurut kasidah demokrasi, hak asasi manusia, dan tentu saja
supremasi hukum.
Jurnalistik Indonesia Hari Ini
Setelah mengalami era kebebasan dan
kemerdekaan selama sepuluh tahun, pers kembali dihadapkan kepada sesuatu yang
dilematis. Di satu sisi, runtuhnya kekuasaan represif Orde Baru membuat dunia
pers menikmati masa gemilang dengan kebebaan yang seolah tak terbatas. Namun,
di sisi lain, liberalisasi pada akhirnya mengundang kekhawatiran publik.
Apakah pers harus mempertahankan
atau mengerem kebebasan yang dimiliki. Dampak-dampak negatif akan bermunculkan
dari kebebasan dan industrialisasi pers.
Hal itu terjadi dengan adanya beberapa pers yang tidak menggunakan etika pers
atau kode etik jurnalistik dalam melaksanakan kegiatan jurnalisme. Tidak adanya
pembatasan yang ketat akan semakin membuat dunia pers terbawa arus
liberalisasi. Contoh halnya pada media elektronik seperti televisi. Begitu
banyak tayangan-tayangan yang memperlihatkan nilai yang jauh dari kewajaran.
Seakan-akan kebebasan pers ini memberikan ruang gerak yang besar untuk bisa
mengekspresikan segala hal, baik itu yang positif, terlebih yang negatif.
Teknologi Berpengaruh Besar Terhadap Sejarah
Jurnalisme
Kegiatan jurnalisme terkait erat
dengan perkembangan teknologi publikasi dan informasi. Pada masa antara tahun
1880-1900, terdapat berbagai kemajuan dalam publikasi jurnalistik. Yang paling
menonjol adalah mulai digunakannya mesin cetak cepat, sehingga deadline
penulisan berita bisa ditunda hingga malam hari dan mulai munculnya foto di
surat kabar.
Pada 1893 untuk pertama kalinya
surat-surat kabar di AS menggunakan tinta warna untuk komik dan beberapa bagian
di koran edisi Minggu. Pada 1899 mulai digunakan teknologi merekam ke dalam
pita, walaupun belum banyak digunakan oleh kalangan jurnalis saat itu.
Pada 1920-an, surat kabar dan
majalah mendapatkan pesaing baru dalam pemberitaan, dengan maraknya radio
berita. Namun demikian, media cetak tidak sampai kehilangan pembacanya, karena
berita yang disiarkan radio lebih singkat dan sifatnya sekilas. Baru pada
1950-an perhatian masyarakat sedikit teralihkan dengan munculnya televisi.
Perkembangan teknologi komputer yang
sangat pesat pada era 1970-1980 juga ikut mengubah cara dan proses produksi
berita. Selain deadline bisa diundur sepanjang mungkin, proses cetak, copy
cetak yang bisa dilakukan secara massif, perwajahan, hingga iklan, dan marketing
mengalami perubahan sangat besar dengan penggunaan komputer di industri media
massa.
Memasuki era 1990-an, penggunaan
teknologi komputer tidak terbatas di ruang redaksi saja. Semakin canggihnya
teknologi komputer notebook yang sudah dilengkapi modem dan teknologi
wireless, serta akses pengiriman berita teks, foto, dan video melalui internet
atau via satelit, telah memudahkan wartawan yang meliput di medan paling sulit
sekalipun.
Selain itu, pada era ini juga muncul
media jurnalistik multimedia. Perusahaan-perusahaan media raksasa sudah
merambah berbagai segmen pasar dan pembaca berita. Tidak hanya bisnis media
cetak, radio, dan televisi yang mereka jalankan, tapi juga dunia internet,
dengan space iklan yang tak kalah luasnya.
Setiap pengusaha media dan kantor
berita juga dituntut untuk juga memiliki media internet ini agar tidak kalah
bersaing dan demi menyebarluaskan beritanya ke berbagai kalangan. Setiap media
cetak atau elektronik ternama pasti memiliki situs berita di internet, yang updating
datanya bisa dalam hitungan menit. Ada juga yang masih menyajikan edisi
internetnya sama persis dengan edisi cetak.
Sedangkan pada tahun 2000-an muncul
situs-situs pribadi yang juga memuat laporan jurnalistik pemiliknya. Istilah
untuk situs pribadi ini adalah weblog dan sering disingkat menjadi blog
saja.
Memang tidak semua blog
berisikan laporan jurnalistik. Tapi banyak yang memang berisi laporan
jurnalistik bermutu. Senior Editor Online Journalism Review, J.D. Lasica
pernah menulis bahwa blog merupakan salah satu bentuk jurnalisme dan
bisa dijadikan sumber untuk berita.
Dalam penggunaan teknologi,
Indonesia mungkin agak terlambat dibanding dengan media massa dari negara maju
seperti Amerika Serikat, Perancis, dan Inggris. Tetapi untuk saat ini
penggunaan teknologi di Indonesia –terutama untuk media televisi– sudah sangat maju.
Lihat saja bagaimana Metro TV melakukan laporan live dari Banda Aceh,
selang sehari setelah bencana gelombang tsunami melanda wilayah itu. Padahal
saat itu aliran listrik dan telepon belum tersambung
Di Indonesia, perkembangan kegiatan
jurnalistik diawali oleh Belanda. Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun
menggunakan jurnalisme sebagai alat perjuangan. Di era-era inilah Bintang
Timur, Bintang Barat, Java Bode, Medan Prijaji, dan Java Bode terbit.
Pada masa pendudukan Jepang
mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya
ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar
Matahari, dan Suara Asia. Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi jurnalisme.
Pemerintah Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesia (RRI) sebagai media
komunikasi.
Menjelang penyelenggaraan Asian
Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun 1962 inilah
Televisi Republik Indonesia (TVRI) muncul dengan teknologi layar hitam putih.
Di masa kekuasaan presiden Soeharto,
banyak terjadi pembredelan (pemberangusan) media massa. Kasus Harian Indonesia
Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh nyata dalam sensor kekuasaan ini.
Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan (Deppen) dan Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI).
Titik kebebasan pers mulai terasa
lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto sebagai Presiden RI, pada 1998.
Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya
organisasi profesi kewartawanan. Kegiatan jurnalisme diatur dengan
Undang-Undang Penyiaran dan Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan Dewan Pers.
0 komentar:
Posting Komentar